1. Ir. Soekarno
Ir. Soekarno yang bernama lahir Koesno
Sosrodiharjo ini lahir pada 6 Juni 1901 di Blitar dari pasangan Raden
Soekemi Sosrodiharjo dan Ida Ayu Nyoman Rai, diberi nama kecil, Koesno.
Ir. Soekarno , 44 tahun kemudian, menguak fajar kemerdekaan Indonesia
setelah lebih dari tiga setengah abad ditindas oleh penjajah-penjajah
asing. Soekarno hidup jauh dari orang tuanya di Blitar sejak duduk di
bangku sekolah rakyat, indekos di Surabaya sampai tamat HBS (Hoogere
Burger School). Ia tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto,
politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Jiwa nasionalismenya membara
lantaran sering menguping diskusi-diskusi politik di rumah induk
semangnya yang kemudian menjadi ayah mertuanya dengan menikahi Siti
Oetari (1921).Soekarno pindah ke Bandung, melanjutkan pendidikan tinggi
di THS (Technische Hooge-School), Sekolah Teknik Tinggi yang kemudian
hari menjadi ITB, meraih gelar insinyur, 25 Mei 1926. Semasa kuliah di
Bandung, Soekarno, menemukan jodoh yang lain, menikah dengan Inggit
Ganarsih (1923).Soekarno muda, lebih akrab dipanggil Bung Karno
mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia),
4 Juni 1927. Tujuannya, mendirikan negara Indonesia Merdeka. Akibatnya,
Bung Karno ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman penjara oleh
pemerintah Hindia Belanda.
Ia dijeboloskan ke penjara Sukamiskin, Bandung, 29 Desember 1949. Di
dalam pidato pembelaannya yang berjudul, Indonesia Menggugat, Bung Karno
berapi-api menelanjangi kebobrokan penjajah Belanda. Bebas tahun 1931,
Bung Karno kemudian memimpin Partindo. Tahun 1933, Belanda menangkapnya
kembali, dibuang ke Ende, Flores. Dari Ende, dibuang ke Bengkulu selama
empat tahun. Di sanalah ia menikahi Fatwamati (1943) yang memberinya
lima orang anak; Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri,
Rahmawati, Sukmawati dan Guruh Soekarnoputri.Soekarno adalah seorang
cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah
drama yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan
tulisannya sudah diterbitkan dengan judul Dibawah Bendera Revolusi, dua
jilid. Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut, tulisan
pertamanya (1926), berjudul, Nasionalisme, Islamisme, dan Marxism,
bagian paling menarik untuk memahami gelora muda Bung Karno.Tahun 1942,
tentara pendudukan Belanda di Indonesia menyerah pada Jepang. Penindasan
yang dilakukan tentara pendudukan selama tiga tahun jauh lebih kejam.
Di balik itu, Jepang sendiri sudah mengimingi kemerdekaan bagi
Indonesia. Penyerahan diri Jepang setelah dua kota utamanya, Nagasaki
dan Hiroshima, dibom atom oleh tentara Sekutu, tanggal 6 Agustus 1945,
membuka cakrawala baru bagi para pejuang Indonesia. Mereka, tidak perlu
menunggu, tetapi merebut kemerdekaan dari Jepang.Setelah persiapan yang
cukup panjang, dipimpin oleh Ir. Soekarno dan Drs Muhammad Hatta, mereka
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, di
Jalan Pegangsaan Timur No. 52 (sekarang Jln. Proklamasi), Jakarta.
2. Dr. Moh. Hatta
Hatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau, Sumatra Barat.
Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan
kemudian pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere
School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya beliau telah
lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta),
namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat
usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO
di Padang, baru kemudian pada tahun 1919 beliau pergi ke Batavia untuk
studi di HBS. Beliau menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik,
dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk
belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa
inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Erasmus
Universiteit). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun.Saat
masih di sekolah menengah di Padang, Bung Hatta telah aktif di
organisasi, antara lain sebagai bendahara pada organisasi Jong
Sumatranen Bond cabang Padang.Pada tangal 27 November 1956, Bung Hatta
memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari Universitas Gadjah Mada
di Yoyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul “Lampau dan Datang”.Saat
berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi,
sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond Cabang Padang. Kesadaran politik
Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah
atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang
menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. Pada usia 17
tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas
berangkat ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang
Prins Hendrik School. Di Batavia, ia juga aktif di Jong Sumatranen Bond
Pusat, juga sebagai Bendahara.Hatta mulai menetap di Belanda semenjak
September 1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging).
Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging.
Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari
ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai
mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische
Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di
Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat
tulisan di koran De Express. Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir
sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond
(JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan
perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca
berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia.
Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar
Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja. Kesadaran politik
Hatta makin berkembang karena kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah
atau pertemuan-pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang
menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat
cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu
setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum
pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan
membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis:
pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu
dan Peroebahan. Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat
menengah (MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi
di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai
aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera, “Namaku
Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda cantik dan kaya
yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari
Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian
meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai
hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta
lewat Hindania. Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena
diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat,
perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim
di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan.
Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama
berkeliling kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai
tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah
perihal memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu
diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah
ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada pembagian
pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan perhatiannya pada persiapan
redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan
penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat
diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya. Selama menjabat
Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat
kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di
Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio
tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang
dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe)
memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan
peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan untuk
Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak
pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip
tulisan-tulisan Hatta. Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September
1921. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische
Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische
Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak
lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan
mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische
Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo)
di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat
tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena
Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan
majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916. Hindia
Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia! Kekallah Anak-Rakjatnya!”
berisi informasi bagi para pelajar asal tanah air perihal kondisi di
Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip kritik terhadap sikap kolonial
Belanda. Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau
ini tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging
berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama
Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah,
yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh
sistem kolonialisme belanda. Dari sanalah mereka semua berasal. Hatta
mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922,
lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu berlangsung pada 19
Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging.
Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Hermen Kartawisastra. Momentum
suksesi kala itu punya arti penting bagi mereka di masa mendatang, sebab
ketika itulah mereka memutuskan untuk mengganti nama Indische
Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti
nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang
sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang anggota
Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai
membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie. Pada
tahun 1927, Hatta bergabung dengan Liga Menentang Imperialisme dan
Kolonialisme di Belanda, dan di sinilah ia bersahabat dengan nasionalis
India, Jawaharlal Nehru. Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan
Hatta ditangkap pemerintah Belanda. Hatta akhirnya dibebaskan, setelah
melakukan pidato pembelaannya yang terkenal: Indonesia Free. Pada tahun
1932 Hatta kembali ke Indonesia dan bergabung dengan organisasi Club
Pendidikan Nasional Indonesia yang bertujuan meningkatkan kesadaran
politik rakyat Indonesia melalui proses pelatihan-pelatihan. Belanda
kembali menangkap Hatta, bersama Soetan Sjahrir, ketua Club Pendidikan
Nasional Indonesia pada bulan Februari 1934. Hatta diasingkan ke Digul
dan kemudian ke Banda selama 6 tahun. Pada tahun 1945, Hatta secara
aklamasi diangkat sebagai wakil presiden pertama RI, bersama Bung Karno
yang menjadi presiden RI.
3. Ki Hajar Dewantara
Pendiri Taman Siswa ini
adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei
1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi
dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk
berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia
meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di
sana.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal
dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka,
berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini
dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik
maupun hatinya. Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan
pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di
ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah
Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia
bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo,
Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer
dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal.
Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga
mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet
sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo
untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia
pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam
berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr.
Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan
Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme
Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai
Indonesia merdeka.Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk
memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi
pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha
menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada
tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini
dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan
kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.Kemudian setelah
ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut
membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus
sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan
Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap
Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya
negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat
jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Sehubungan dengan
rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik
Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen
maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu
Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat
kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi: “Sekiranya
aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta
kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya.
Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga
tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana
perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah
menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan
penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang
menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah
kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu
pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”. Akibat
karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral
Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman
internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah
tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun
dihukum buang ke Pulau Bangka. Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo
merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun
menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda
menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak
pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman
internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo
dibuang ke pulau Banda. Namun mereka menghendaki dibuang ke
Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari
pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda
sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan
itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran,
sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh
Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di
tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian
dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Setelah pulang dari
pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan
sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan
ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik
agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh
kemerdekaan.Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman
Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan
mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan
kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian
dicabut. Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia
pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema
tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan
berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui
tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan
nasional bagi bangsa Indonesia. Sementara itu, pada zaman
Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap
dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat
(Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan
di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki
Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan
pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal
kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga
ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan
Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan
lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas
Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor
Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di
Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus
perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya,
Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar
Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki
Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan
berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan
risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar
sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah
direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip
Nasional. Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan
pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa
membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status
ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada
nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
4. Raden Ajeng Kartini
Door Duistermis tox Licht,
Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan
surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang
dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian
menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk
melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam
memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di
atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak
gadis di Jepara dan Rembang. Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara
ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak
itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok
negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya. Di
era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini
belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan
untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum
diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya. Kartini
yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak
mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita,
juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang
pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda,
akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah
kebiasan kurang baik itu. Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir
di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat
menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun
sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang
tuanya. Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese
Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun
dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat
kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di
tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan
sampai tiba saatnya untuk menikah. Merasakan hambatan demikian,
Kartini remaja yang banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar serta
gemar membaca buku khususnya buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti
karya-karya Multatuli “Max Havelaar” dan karya tokoh-tokoh pejuang
wanita di Eropa, mulai menyadari betapa tertinggalnya wanita sebangsanya
bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain terutama wanita Eropa. Dia
merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai
tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati.
Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak
pernah disekolahkan sama sekali. Sejak saat itu, dia pun berkeinginan
dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah
untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk
merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan
sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah
tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan
sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias
cuma-cuma. Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana
mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa
menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah
Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut
kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah
kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu
dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang. Berbagai
rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun.
Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping
sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang
dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita
lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing
seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.
Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang berteman. Dia mempunyai banyak
teman baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari negeri
Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kepada para
sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya
memajukan wanita negerinya. Kepada teman-temannya yang orang Belanda dia
sering menulis surat yang mengungkapkan cita-citanya tersebut, tentang
adanya persamaan hak kaum wanita dan pria. Setelah meninggalnya Kartini,
surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi
sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht
(Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat
berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi
tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum
wanita Indonesia di kemudian hari. Apa yang sudah dilakukan RA Kartini
sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan
lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya
Allah memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki
lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal
17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya. Mengingat
besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara,
pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia
mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964,
tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan
Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April,
untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal
sebagai Hari Kartini. Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran
Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai
argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing.
Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan
Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal
22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan
pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim
mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA
Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di
Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata
melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya. Sedangkan mereka
yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi
wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan
adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya
tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya
sudah dalam skop nasional. Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan
waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah
kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan
berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan
oleh Sumpah Pemuda 1928. Terlepas dari pro kontra tersebut,
dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita
kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi
Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha
Tiahohu, dan lainnya. Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan
cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan
lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman
penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan
mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui
organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang
bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.
Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat
tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan
perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami
perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu.
Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah
kaumnya dari belenggu diskriminasi. Bagi wanita sendiri, dengan upaya
awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang
disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era
globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak
adil terhadap perempuan. Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama
yang oleh sebagian orang baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat
otoriternya maupun oleh sebagian wanita itu sendiri yang belum berani
melawan kebiasaan lama. Namun kesadaran telah lama ditanamkan kartini,
sekarang adalah masa pembinaan.
Suka Artikel ini? Apa komentar anda?